Angkringan di Belanda

Yogyakarta, 24 Januari 2016

Seteguk air putih melarutkan dahagaku. Kupejamkan mata sejenak sambil menyandarkan kepala untuk merasakan kesegaran yang membasahi tenggorokanku. Udara dalam ruangan panjang ber-AC ini dingin dan terasa kering. Kupalingkan wajah ke jendela di sebelah kiriku. Dari jendela yang tebalnya kira-kira sekepalan tanganku ini tampak cuaca begitu cerah. Di bawah sana terlihat pemandangan yang rasanya tak asing bagiku. Hanya saja sekian waktu ini aku tidak melihatnya secara langsung.

Tugu Jogja seperti diserbu kendaraan-kendaraan yang melaju setelah lampu hijau traffic light di persimpangan jalan menyala. Jalan raya utama di Kota Jogja siang ini tampak ramai oleh laju kehidupan manusia.Semakin mendekati bandara terlihat semakin jelas pemandangan di bawah. Kompleks universitas islam dan salah satu bangunan mall ternama di Jogja telah terlewati. Kulirik seatbelt yang melilit di perutku, masih terpasang dengan baik.

Ciit..! Roda pesawat dan runway yang beradu gesek menimbulkan suara khasnya disertai hentakan halus, membuatku berpikir bahwa pilotnya tidak dalam status magang. Laju pesawat di runway melambat, para penumpang kemudian berdiri dengan keperluannya masing-masing.

Beberapa kali terdengar suara splash handphone yang dinyalakan, risih telingaku mendengarnya. Mengingat pesawat belum benar-benar berhenti sedangkan posisi penumpang masih di dalam pesawat. Mungkin hanya untuk sekedar say hello via telepon atau pesan singkat kepada penjemputnya di bandara, apa susahnya jika dilakukan setelah turun dari pesawat? Tak bisakah sabar sedikit? Sepertinya warga negaraku ini butuh reformasi disiplin di dalam pesawat.

Tak lama kemudian aku menuruni tangga pesawat. Ada perasaan berbeda yang mengalir dari dada ke kepalaku lalu menjalar ke seluruh tubuhku saat pertama kali kaki kananku menapak runway. Sambil berjalan aku agak mendongakkan kepala dan sejenak menutup mata, menghirup dalam-dalam udara sekitar. Dan ketika membuka mata kulihat tulisan besar yang meyakinkan keberadaanku sekarang ini, ADISUTJIPTO AIRPORT. Aku tersenyum, senyuman terbaikku. Tertawa kecil merasakan ini semua.

Suara bising mesin pesawat maskapai pemerintah di belakangku seolah mendengungkan salam selamat datang kembali. Sinar matahari menyambut tubuhku yang belum benar-benar sadar merasakan iklim tropis. Kubuka retsliting jaket yang terakhir kali kututup setelah menyempatkan shalat di dalam pesawat tadi. Jaket kututup rapat sejak berangkat dari apartemenku di Leiden menuju Bandara Schiphol, Amsterdam. Lelah karena belasan jam perjalanan udara Amsterdam-Yogyakarta seolah sirna karena euforia kecil ini.

Sambil menanti untuk mengambil bagasi, aku mengirim pesan singkat pada seseorang yang mungkin sudah sejak setengah jam lalu menungguku di pintu keluar. Sesaat kemudian aku menarik trolley bag-ku berjalan ke pintu keluar. Sejenak celingukan kanan-kiri tiba-tiba di hadapanku datang seorang pemuda.

“Assalamu’alaikum!” sapanya sambil menyalami dan mencium tanganku.

“Wa’alaikumsalaaam…”, jawabku dengan senyum lalu merangkulnya.

“Tambah gemuk kamu. Aaa… Makan terus, ya?! Ngakunya belajar, padahal makan-makan.”, katanya lantas terkekeh.

“Ya, belajar makan itu maksudnya!”, timpalku.

Kami tertawa renyah. Dalam hati aku juga tertawa. Sekitar dua tahun kami berpisah tapi chemistry bercanda masih tetap sama. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, kini kurang lebih seperempat abad usianya sekarang. “Jar, selamat ulang tahun ya. Moga sehat-sehat, lancar rizki, tambah kuat ibadahnya, tambah deket sama Allah, dikabulkan harapan-harapan & do’anya…”, ucapku. “Amin amin amin…. Iya makasih doanya, mas…”, balasnya tersenyum. Diam-diam aku menyiapkan hadiah di dalam tas punggungku untuknya.

Mungkin itu alasannya kenapa ia begitu ingin menjemputku di bandara hari ini. Bertepatan hari ulang tahunnya ia ingin tandakan dengan kedatanganku setelah kurang lebih dua tahun aku melanjutkan studi sekaligus riset di negeri kincir angin. Impian lamaku yang akhirnya Tuhan ijinkan untuk terwujud.

“Emang dingin banget to di Belanda? Jaketmu lumayan tebel gini…”, tanya adikku, Fajar.

“Iya… Lumayan, sih. Kalau normal sih sekitar di bawah 10 derajat celsius, tapi belom sampe minus nol derajat. Tapi kalau pas hawa dingin gitu, lumayan ekstrim dinginnya”, jawabku.

“Mmm…”, gumamnya.

“Nggak ada angkringan di sana, jadi nggak beli wedang jahe buat anget-anget.”, kataku disambut tawa adikku. Angkringan merupakan warung selera rakyat yang sangat populer di Yogyakarta. Ide gila memang jika berbisnis angkringan di negara yang musim dinginnya bisa sampai minus nol derajat celcius. Mungkin lain cerita jika bisnis angkringan di Belanda dengan desain outlet franchise. Yang pasti pembayarannya bukan dengan Rupiah, apalagi dengan kondisi uang bekas dilipat atau menghitam dan lemas karena terlalu sering bergerilya dari satu tangan ke tangan lainnya.

“Ya besok bawa teh anget dibungkus plastik dari Indonesia.”, timpalnya.

“Haha… Sambil makan sego kucing gitu ya? Di bawah kincir angin di tengah kebun Bunga Tulip.”, kataku membayangkan.

(~end…)

RT. Hakimi
Negeri Istimewa, Januari 2011

Tinggalkan komentar