Ketika Penulis Bertutur

Hal sederhana tentang seorang penulis sejauh pengamatanku sebelumnya, yaitu kebiasaan dia menata logika di dalam tulisannya–yang tatanan itu sudah ada duluan di dalam kepalanya–tercermin pada kerapian tutur bicaranya. Bahkan ada penulis yang penuturannya terasa mudah dikutip dalam sekali dengar.

Kurang lebih sejak tiga minggu lalu beberapa acara yang diisi penulis buku kudatangi. Ada yang sifatnya berbagi wawasan, ada juga yang lebih bersifat pertunjukan. Namun rupanya pada salah satu acara tersebut aku menemukan penulis yang karyanya sudah banyak, hingga diterjemahkan ke bahasa asing, yang untuk bisa menangkap utuh maksudnya harus kuperhatikan betul kata demi kata yang diucapnya.

Maksud dia berbicara masih bisa terbaca arahnya ke mana. Tapi, sewaktu-waktu ada yang kurasa ucapannya sangat cepat, sering memutus kalimat, dan banyak pemborosan kata. Kuibaratkan jalanan lurus yang jelas arahnya, tapi jalanan itu tidak rata. Jalanan nggronjal.

Sempat kurekam pembicaraannya dan ketika kudengar lagi untuk coba kutulis apa yang dia bicarakan kudapatkan wawasan-wawasan menarik seputar sastra. Wawasan yang kutulis dengan bergelas-gelas kopi dan desis-desis pisuhan gara-gara ribet betul menyimak kata-kata yang ia tuturkan.

Sambil menulis itu aku jadi terpikir, “Ternyata yang demikian itu memang ada, ya?” Tidak semua orang yang rapi dalam tulisan selalu rapi dalam berlisan, kendati terbaca arah bicaranya.

Jangan-jangan aku diberi pengalaman itu supaya mengerti bahwa hal yang demikian itu masuk akal. Semasuk akal Musa yang kaliber mukjizatnya mampu menekuk kuasa raja diraja Fir’aun dengan para penyihirnya, tapi untuk bertemu bicara dengan Fir’aun saja Musa minta tolong sama Tuhan supaya ia ditemani Harun yang fasih berbicara.

Jangan-jangan begitu, lho, ya.

Tinggalkan komentar