Ketika Penulis Bertutur

Hal sederhana tentang seorang penulis sejauh pengamatanku sebelumnya, yaitu kebiasaan dia menata logika di dalam tulisannya–yang tatanan itu sudah ada duluan di dalam kepalanya–tercermin pada kerapian tutur bicaranya. Bahkan ada penulis yang penuturannya terasa mudah dikutip dalam sekali dengar.

Kurang lebih sejak tiga minggu lalu beberapa acara yang diisi penulis buku kudatangi. Ada yang sifatnya berbagi wawasan, ada juga yang lebih bersifat pertunjukan. Namun rupanya pada salah satu acara tersebut aku menemukan penulis yang karyanya sudah banyak, hingga diterjemahkan ke bahasa asing, yang untuk bisa menangkap utuh maksudnya harus kuperhatikan betul kata demi kata yang diucapnya.

Maksud dia berbicara masih bisa terbaca arahnya ke mana. Tapi, sewaktu-waktu ada yang kurasa ucapannya Baca lebih lanjut

Berguru

Malam, malam ini. Buku ini. Menutup sebagian galauku akan pengembangan website.

Malam, sepuluh hari sebelum tanggal ulang tahun masehiku pada bulan terakhir 2013, aku mendengar puisi ini pertama kali dibacakan oleh penulisnya, Emha Ainun Nadjib. Puisi demi puisinya ia bacakan diiringi Gamelan Kiai Kanjeng. Merinding aku di akhir pertunjukan. Seperti ada daya magis yang muncul dari penataan cahaya, suara, dan gerak. Mungkin sejak itulah kesadaranku tentang seni pertunjukan iseng-iseng mulai tumbuh.

Salah satu yang berkesan kuat bagiku hari ini adalah Baca lebih lanjut

Dari Hollywood sampai HB I (#2)

Suasana kuliah dosen Pak Yanto

Singgungan “Hamengkubuwana I”

Diskusi kami lalu terhenti sebentar karena ada seorang bapak-bapak berjenggot agak panjang yang masuk ke ruangan, ada perlu dengan Pak Yanto. Kulihat bapak tadi menyalami lalu mencium tangan Pak Yanto. Pemandangan yang tidak biasa buatku.

Aku tetap di situ. Bapak itu lalu membicarakan sesuatu dengan Pak Yanto, tepatnya masalah Baca lebih lanjut

Dari Hollywood sampai HB I (#1)

Penasaranku terjawab. Paling nggak, sih… 🙂

Kemarin Senin. Selepas kuliah pagi Broadcasting, aku datangi dosen yang tak lain guru besar di kampusku, sebut saja Pak Yanto. Sembari mengemas notebook berlogo buah tergigitnya beliau meladeni pertanyaanku.

Diskusi pagi itu melebarkan lagi celah-celah pikiranku.

Alur Skenario Film Hollywood = Kisah Adam

Kuliah Broadcasting pagi ini masih membahas pola penulisan cerita film layar lebar. Aku membuka pertanyaan tentang apa yang pernah Pak Yanto sampaikan di pertemuan kuliah sebelumnya. Pertanyaan yang terpantik ketika beliau beberapa kali menyebutkan pola penulisan skenario cerita film-film Hollywood adalah pola kisah Nabi Adam AS.

“Apa orang Hollywood juga menyebut pola skenarionya diambil dari cerita Nabi Adam, Pak?”

Pak Yanto bilang tidak, orang Hollywood tidak menyebut eksplisit bahwa mereka mengambil pola kisah Nabi Adam. Tapi mencontohkan pola penulisan skenario film Hollywood ada pada kisah Nabi Adam.

Kutanya lagi dari mana beliau dapatkan kisah utuh Nabi Adam sebenarnya? Karena selama ini aku tahunya cerita Nabi Adam itu dari cerita-cerita lepas jaman kecil dulu, dari buku-buku “kisah 25 nabi”, dsb. Pikirku cerita-cerita dari situ belum utuh, karena pasti lebih detail dan kompleks lagi jika sumbernya dari kitab klasik atau tafsir ayat-hadits yang ditulis ahlinya.

Rupanya jawaban beliau tidak jauh dari bayanganku. Pak Yanto bercerita kalau rangkaian kisah Nabi Adam di Al Qur’an ya seperti pola penulisan cerita skenario film Hollywood itu. “Jadi misalnya di Surat Al-A’raf itu cerita Nabi Adam ke-1… 3… 5… 7…; di surat lainnya cerita ke 2… 4… 6… 8…”.

Kuingat lagi di pertemuan Broadcasting sebelumnya Pak Yanto sempat bercerita kalau cerita tentang Nabi Adam beliau temukan dan pelajari selama 30 hari pada bulan Ramadhan.

Ada pola-pola tertentu dalam penulisan cerita skenario film Hollywood, misalnya bagaimana si tokoh utama mulai memasuki petualangan cerita (Call to Adventure), tokoh utama meninggalkan ego pribadinya, tokoh utama meraih penghargaan, tokoh utama kembali ke dunia biasa, dst.

Dan masih ditekankan Pak Yanto, yang beliau kutip dari ayat (atau hadits, aku lupa) bahwa “kisah-kisah para nabi adalah kisah terbaik bagimu”.

Ajisaka Hollywood

The Chronicles of Java

The Chronicles of Java

Selanjutnya masalah film animasi 3 dimensi yang sedang digarap Pak Yanto sebagai eksekutif produser dan penulis skenarionya, dengan tokoh utama Ajisaka. Film animasi yang dalam produksinya melibatkan pekerja film Hollywood, karena memang untuk dipasarkan ke Hollywood.

“Waktu menulis cerita film Ajisaka itu Pak Yanto ambil referensi kisahnya dari mana? Mungkin dari kitab kuno atau serat, gitu? Karena kan kalau film Ajisaka itu nanti ketika ditayangkan dan kemungkinan ditonton oleh orang-orang ilmu budaya, gimana kira-kira tanggapan dari mereka kalau ternyata mungkin film Ajisaka itu nggak seperti apa yang diceritakan di kitab atau serat kuno, gitu?”

Dijawab dengan senyum, Pak Yanto lalu mengatakan kalau cerita Ajisaka dalam film ini adalah cerita versi beliau sendiri. “Nanti dianggap menjiplak kalau saya ambil (cerita Ajisaka, red) dari tulisan orang lain”, lanjutnya.

Diterangkan Pak Yanto, inti cerita film Ajisaka ini nanti adalah manusia mendapatkan kekuatan terbesarnya ketika dia telah berpasrah diri pada Tuhan. Jadi nanti di ending kisahnya Ajisaka berhasil mengalahkan Prabu Dewatacengkar ketika dia pasrah pada Tuhan (setelah sebelumnya mengalami kekalahan melawan Dewatacengkar).

Di ujung diskusi Ajisaka ini Pak Yanto lalu bercerita. Dulu waktu penciptaan bumi, bumi bergoncang dengan hebatnya. Tuhan lalu membuatkan gunung dan bumi itu diam (tidak lagi bergoncang). Malaikat takjub, lalu bertanya pada Tuhan, “Ya Tuhan, adakah yang lebih kuat dari gunung (batu)?”
Tuhan menjawab, “Ada. Besi.”
Lagi malaikat bertanya, “Ada yang lebih kuat dari besi?”
Tuhan jawab, “Ada. Api.”
“Yang lebih kuat dari Api?”
“Air.”
“Yang lebih kuat dari air?”
“Angin.”
“Adakah yang lebih kuat dari itu semua?”
“Ada. Yaitu (manusia yang) bersedekah dengan tangan kanan, tangan kirinya tidak mengetahui.”

Selanjutnya…