Ketika Penulis Bertutur

Hal sederhana tentang seorang penulis sejauh pengamatanku sebelumnya, yaitu kebiasaan dia menata logika di dalam tulisannya–yang tatanan itu sudah ada duluan di dalam kepalanya–tercermin pada kerapian tutur bicaranya. Bahkan ada penulis yang penuturannya terasa mudah dikutip dalam sekali dengar.

Kurang lebih sejak tiga minggu lalu beberapa acara yang diisi penulis buku kudatangi. Ada yang sifatnya berbagi wawasan, ada juga yang lebih bersifat pertunjukan. Namun rupanya pada salah satu acara tersebut aku menemukan penulis yang karyanya sudah banyak, hingga diterjemahkan ke bahasa asing, yang untuk bisa menangkap utuh maksudnya harus kuperhatikan betul kata demi kata yang diucapnya.

Maksud dia berbicara masih bisa terbaca arahnya ke mana. Tapi, sewaktu-waktu ada yang kurasa ucapannya Baca lebih lanjut

Kamulah Semesta

Mungkin kau tak ‘kan pernah tahu betapa mudahnya kau untuk dikagumi

Mungkin kau tak ‘kan pernah sadar betapa mudahnya kau untuk dicintai

Sepenggal lirik lagu Sheila on 7 di atas teringat dalam suatu obrolan beberapa waktu lalu. Suatu obrolan di atas bukit, di bawah pohon, dan angin ikut nimbrung memberi sejuk sehingga malas untuk pulang ke rumah. Aku teringat lirik tersebut setelah menyimak hal yang dibicarakan teman bicaraku. Sesaat sebelum teringat penggalan lirik tersebut ada hal-hal yang sempat terlintas.

Dari atas bukit, dari bawah pohon.

Betapa mudahnya untuk dikagumi, betapa mudahnya untuk dicintai tentu ini gambaran sosok yang menarik. Ia bisa disukai lawan jenis dari yang berpikir dengan otak kanan sampai otak kiri, tidak pandang kaya atau miskin, dari yang teguh beragama hingga bangga tak beragama, dan beragam tolak ukur lainnya. Dan tidak menutup kemungkinan ia dicintai banyak orang sebab manfaat yang telah ditebarnya.

Betapa mudahnya untuk dikagumi, betapa mudahnya untuk dicintai menurutku berarti Baca lebih lanjut

foreign language belepotan

Betul kan? Setidaknya itu yang mungkin sempat terpikirkan oleh pembaca tulisan-tulisan di blog ini. Foreign language alias bahasa asing yang beberapa kali tertulis terasa aneh, kadang dipaksakan.

Yah… itulah namanya belajar. Kesalahan dan kekurangan disana-sini masih ada. Dan itu wajar, karena masih dalam proses belajar itu tadi. Yang penting bagaimana proses belajar itu sehingga kesalahan dan kekurangan yang ada dapat seminimal mungkin ditemui.

Tapi yang jelas, kesalahan dan kekurangan itu PASTI ADA. Karena kita MANUSIA.

😉

Dari 5 kembali ke 5

Apa maksudnya judul tulisan ini? Yah… tidak lebih hanyalah sebuah refleksi tentang pengalaman diri sendiri mengenyam pendidikan dari tingkat SD sampai dengan terakhir kemarin STM selama kurang lebih 12 tahun. Bukan mau narsis atau menonjolkan diri, tetapi hanya ingin share pengalaman, yang penting prosesnya!

Dari lima kembali ke lima. Dulu pertama kali aku mendapatkan ukuran peringkat prestasi belajar di kelas, atau yang bahasa jawanya adalah ranking :-), adalah rangking ke-5. Aku masih ingat tentang hal itu: kelas satu SD, di SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya, pada saat Tes Sub Sumatif pertama (TSS I) caturwulan I, nama kelasku satu B (I B), nama wali kelasku Dra. Sri Purwanti (biasa dipanggil Bu Sri. Ehm, orangnya agak galak… hehe..), kalau tidak salah waktu itu nama teman sebangkuku Danu, Danu Kisworo panjangnya, dan urutan nomor absenku sekitar urutan 30-an. Nah, ranking 5 dari 30-sekian anak itulah ranking yang pertama kali aku dapatkan, pemeringkatan hasil TSS I. Dan waktu itu masih belum kenal sama yang namanya nyontek atau nyonto atau nedhak atau ngerpek, ya masih kecil kok ya…

Dan… Inilah kabar-kabar SD lamaku itu, lihat di http://www.sdm4sby.com. SEKOLAH STANDAR NASIONAL!!! Aaagghhh…. betapa aku sekarang merasa menyesal harus meninggalkan SD Surabayaku itu, ikut orang tua pindah ke Jogja. Aku menyesal tidak lulus Sekolah Dasar di sekolah besar itu. Aku akhirnya lulus di SD Muhammadiyah Sokonandi Yogyakarta. Bayangin aja, meninggalkan SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya ketika aku selesai kelas 5 SD!! Tinggal setahun lagi tuh aku bisa lulus di sana! Andai waktu itu aku sudah bisa “lebih mikir”, maka aku pasti akan minta tinggal dulu dengan pakde atau bude yang tinggal di Surabaya setidaknya sampai lulus SD, tapi ya itu… masih kecil waktu itu, masih terlalu nurut sama orang tua. hiks… Tapi setidaknya aku bangga pernah menjadi bagian dari SD besar itu, walaupun bukan alumni resmi yang mungkin tercatat dalam database alumninya. fiuh….

Kembali ranking 5 lagi di akhir semester di STM. Ranking terakhir selama duduk di bangku sekolah formal. Peringkat ke-5 dari 29 anak, sekolahnya di SMK Negeri 3 Yogyakarta (STM 2 Jetis), jurusan Teknik Komputer dan Jaringan, dan sebagainya, dan sebagainya…. :-p

Sebenarnya diawali dan diakhiri dengan ranking 5 bukan berarti stangnasi alias tidak berkembang. Jangan salah bro, gini-gini pernah ngerasain ranking pertama juga. Waktu itu di SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta, semester kedua di kelas satu, kepala masih suka aku tutupin pakai peci karena rambut keriting yang susah diatur dan jelek banget menurutku. Dan berlanjut ke posisi-posisi yang alhamdulillah tidak jauh dari sepuluh besar. Pokoknya ranking naik turun tapi nggak jauh-jauh. 😉

Hasil murni atau nggak tuh?! Terus terang aku baru berani kerjasama dengan teman sejak kelas dua SMP. Ya antara kepepet dan tidak bisa mengerjakan, juga ada kesempatan, ditambah teman yang tanya-tanya waktu ulangan, ya udah simbiosis mutualisme jadinya….  Tapi akhirnya aku sadar kalau kejujuran dalam menyelesaikan suatu hal itu jauh lebih bernilai daripada menutup-nutupi (huekk….), iya kok.

Sebenarnya menurutku, yang terpenting bukan ranking-rankingan seperti itu. Tapi proses belajarnya, sudah sejauh apa dia paham akan materi yang diberikan, sudah sejauh apa dia bisa menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan. Karena ternyata ada orang-orang yang “tampaknya bisa” tetapi dalam prosesnya dia tidak memaksimalkan potensi dia sebenarnya, menutup-nutupi kekurangan dengan jalan pintas, dsb (ngerti kan maksudnya?)

Proses bro… proses! Merangkak itu proses! If there’s a process, there’s a result. 😉