Kedung Darma Romansha: Membaca Puisi Adalah Kerja Intelektual

Minggu (25/02) malam lalu aku datang di peluncuran buku puisi Kedung Darma Romansha berjudul Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Banyak pembahasan menarik dalam acara diskusi tersebut yang terpantik dari interaksi para pembicara dan penanya. Di bawah ini poin-poin yang sempat kucatat dari Joko Pinurbo (Jokpin) dan Kedung Darma Romansha pada sesi ulasan dan tanya jawab.

Catatan dari sesi bicara Jokpin

  • Membaca kumpulan puisi berbeda dengan membaca puisi secara lepas-lepas.
  • Dalam buku kumpulan puisi Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu, kerangka kumpulan puisi Kedung ada dua, yaitu Kereta Terakhir & Hujan Oktober.
  • Jenis puisi lirik bercirikan adanya aku dan kau di dalamnya.
  • Salah satu kemenarikan puisi adalah keambiguannya, ketaksaannya. Misal, tidak jelasnya kau itu merujuk siapa.
  • Banyak puisi Kedung di buku ini yang mengandung imaji basah, misalnya bocor, menetes, meleleh, mengalir. Bukan sesuatu yang membeku.
  • Keunikan puisi Kedung, yaitu adanya imaji proletar pada hal-hal yang sering dibahas orang, seperti rindu dan hujan. Ada budaya dan unsur kampung dalam puisi Kedung, semisal sarung dan rumah bocor.
  • Jokpin menyarankan kepada Kedung untuk mengekplorasi diksi-diksi proletar. Buku kumpulan puisi ini membukakan jalan pada penulisnya untuk memperdalam diksi-diksi proletar ini.

Catatan dari sesi bicara Kedung

  • Mengaku baru menulis puisi apabila telah ada pengalaman puitik yang menampol—istilah yang dipilih Kedung—dirinya.

Catatan dari sesi tanya jawab
Kedung

  • Saya tidak bisa menulis sesuatu yang tidak dekat dengan saya. Saya merespon apa yang dekat dengan saya. Tidak mungkin saya menulis salju. Yang saya tulis, ya becek, hujan, dsb. Merespon hal-hal yang di dekat kita saja.
  • Sapardi, Rendra, Jokpin, dan Subagio Sastrowardoyo mempengaruhi saya.
  • Membaca puisi adalah kerja intelektual; menyesuaikan latar bacaan-bacaan, wawasan kita (pembacanya).

Jokpin

  • Mengagumi bait “Tuhan cemburu dengan wajahnya sendiri” dalam puisi Kedung berjudul Cinta yang Lupa Ingatan yang dibacakan Teuku Rifnu Wikana.
  • Kalau tidak terpaksa jangan jadi penyairlah. Modalnya berat: rokok, kopi, waktu. Ada satu puisi yang jadi setahun. Ada yang sehari cuma dapat selarik.
  • Pada akhirnya penyair akan memilih gaya juga dalam menulis dan temanya.
Launching

instagram.com/kedungdarmaromansha

Tinggalkan komentar