Hari Buku Sedunia: Pengalaman Menangani Ebook Judul-Judul Buku di Indonesia

Dulu waktu gemar mendatangi acara bedah buku, peluncuran buku, kepenulisan, dan semacamnya, aku sempat kagum dengan salah seorang penulis buku yang sampai lupa dia sudah nulis buku apa saja.

Berarti dia sudah berkarya banyak, saking banyaknya sampai-sampai lupa sudah membuat buku apa saja. Itu keren, pikirku waktu itu. Hal itu kuketahui seusai acara waktu aku sempat tanya-tanya langsung ke si penulis.

Ketika akhirnya diperjalankan sampai tercebur di penerbitan buku kelupaan semacam itu kualami juga rupanya. Aku lupa judul buku apa saja yang pernah kukerjakan versi digitalnya.

Bertahun-tahun aku mengerjakan ebook seharusnya jumlah judul-judulnya sudah mencapai hitungan ratus. Oleh karena itu sebagian judul-judul buku yang telah kubuat versi ebook-nya kuunggah di Baca lebih lanjut

Kedung Darma Romansha: Membaca Puisi Adalah Kerja Intelektual

Minggu (25/02) malam lalu aku datang di peluncuran buku puisi Kedung Darma Romansha berjudul Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Banyak pembahasan menarik dalam acara diskusi tersebut yang terpantik dari interaksi para pembicara dan penanya. Di bawah ini poin-poin yang sempat kucatat dari Joko Pinurbo (Jokpin) dan Kedung Darma Romansha pada sesi ulasan dan tanya jawab.

Catatan dari sesi bicara Jokpin

Melihat Hidayah Bekerja

Lagu. Suatu malam aku ke Indomaret dekat rumah dan sudah biasa kalau di sana terdengar lagu atau siaran radio dari speaker di sudut-sudut ruangan. Malam itu aku dengar satu lagu yang mengingatkanku pada obrolan empat tahun lalu dengan seorang rekan kerja, mbak-mbak perawat, waktu aku masih bekerja di lingkup rumah sakit. Obrolan kami jadi nyambung gara-gara sama-sama suka nulis. Aku waktu itu sudah menerbitkan satu buku, sedang dia sudah mengirimkan naskah ke salah satu penerbit ternama di Jogja namun belum ada kejelasan diterbitkan.

Lagu yang kudengar di Indomaret malam itulah yang dulu sayup terdengar di ruang apotek rumah sakit tempat kami ngobrol. Di tengah obrolan kami dia menyela, “Aku suka, nih, lagu ini. Bagus temanya,” sambil ia melanjutkan catatan tugasnya. Kupikir waktu itu lagu apa pun urusannya adalah asal enak didengar, sebagai komoditas jualan musisi dan label rekaman.

Di Indomaret malam itu rasanya beda dengan empat tahun lalu mendengarnya. Rasanya jadi paham perkataan Baca lebih lanjut

Menyambut Janji

*Catatan dari Tulisan Dokter #3

Dalam bab Foto Eben membahas tentang salah satu pesan yang ia tangkap saat berada di dunia Gerbang dan Inti, “Kau dikasihi.”

Terkondisi yatim piatu sejak kecil, Eben merasa bahwa kata itulah yang perlu ia dengar sejak kecil. Namun, menurut Eben, pesan itu juga perlu didengar oleh siapa pun kita pada zaman materialistis ini ketika dihadapkan pada siapa sebenarnya kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi, untuk menyadari bahwa sebenarnya kita keliru kalau merasa yatim piatu. Kita tidak akan pernah merasa kehilangan.

“Tanpa memulihkan memori akan keterhubungan kita yang lebih besar dan akan kasih tak bersyarat dari Sang Pencipta, kita akan selalu merasa kehilangan di bumi ini.” (Proof of Heaven, Foto)

Pada akhirnya Eben kembali menyadari bahwa dirinya adalah Baca lebih lanjut

Seperti Bikin Anak

Pendapat orang tentang suatu karya seni bisa berbeda-beda. Setiap orang dapat melihatnya dengan sudut pandang masing-masing. Namun apa yang menjadi landasan berkarya dari seniman juga menarik untuk disimak.

Tengah Maret lalu diluncurkan sebuah buku tentang pelukis Affandi di Sangkring Art Space, Bantul, Yogyakarta. Pak Djon, sopir dan asisten pribadi Affandi, adalah narasumber utama buku tersebut. Menarik ketika Pak Djon mengungkap bahwa Affandi merasa keberatan disebut seniman. Ia hanya ingin disebut tukang gambar. Karena menurut Affandi terdapat tiga tingkatan besar, yaitu pertama: Tuhan, kedua: Rasul, ketiga: Seniman.

Beberapa lukisan Affandi lalu ditayangkan pada layar di panggung dan Pak Djon menjelaskan maksud lukisan-lukisan itu. Lukisan-lukisan Affandi tersebut diantaranya Baca lebih lanjut

Dimatikan Untuk Menghidupkan

*Catatan dari Tulisan Dokter #1

Di sela hari-hari membaca buku ini aku mendapat kabar meninggalnya saudara dari salah seorang temanku. Sebelum meninggal, saudara temanku tersebut kabarnya sempat mengalami koma selama beberapa waktu yang disebabkan virus yang menyerang otaknya. Meningitis. Virus meningitis menjadi salah satu “tokoh utama” dalam buku yang kubaca tersebut, Proof of Heaven.

Bagaimana rasanya mengalami koma? Apakah sama pengalaman setiap orang yang koma? Eben Alexander, MD menuliskan pengalaman komanya selama terjangkit virus meningitis dalam buku ini. Eben yang dokter spesialis bedah saraf menyebut pengalaman ini sebagai near-death experience (NDE).

IMG_20140312_144631

Eben kerap menangani pasien-pasien yang mengalami NDE. Namun baginya, Baca lebih lanjut

Separuh Buku Luar Biasa

Baru separuh buku luar biasa ini habis kubaca. Rasanya kok sayang sekali kalau cepat-cepat selesai membaca habis buku ini. Dan terus terang memang aku tidak bisa cepat-cepat membaca buku ini demi memahami maksud dari kalimat-kalimat yang penulisnya sampaikan.

Buku ini berjudul Proof of Heaven, berisi kisah pengalaman “pengelanaan” seorang dokter ahli bedah syaraf bernama Eben Alexander, MD saat mengalami mati suri yang disebabkan oleh virus yang menyerang syaraf otaknya. Lebih lengkapnya siapa dia cari saja di Google atau simak pembicaraanya di Youtube.

Tengah malam tadi kulanjutkan membaca buku ini sampai pada bab Berkah Melupakan. Aku beberapa kali bergumam mengagumi apa yang Eben tulis di bab ini, terutama pada beberapa paragraf akhir bab. Akan kucoba meringkas inti beberapa paragraf akhir bab tersebut.

Proof of Heaven, versi terjemah Bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Bentang Pustaka.

Proof of Heaven, versi terjemah Bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Bentang Pustaka.

Eben mengungkap bahwa

Baca lebih lanjut

Dari Desa Hingga Ilmu Mesin Tik (catatan dari diskusi buku)

“Sepulang dari sini, bukan tentang buku ini yang akan Anda bawa. Tapi, ilmu apa yang ingin Anda pelajari dari yang sudah Anda dapat malam ini.”

Berkali-kali hadir di acara-acara diskusi/ obrolan/ bedah buku, buatku acara diskusi buku ini yang terlama waktunya dari awal hingga selesai. Dimulai menjelang jam 8 malam hingga selesai jam 12-an dini hari. Yaitu diskusi buku Indonesia Bagian Dari Desa Saya (IBDDS) karya Emha Ainun Nadjib yang diselenggarakan di Rumah Budaya EAN, Kadipiro, Yogyakarta pada Jum’at, 3 Mei 2013 lalu.

Gambar

Hadir sebagai pembicara resmi seperti yang tercatat di publikasi ada Toto Raharjo, EH Kartanegara, dan Patricius Cahanar. Serta sesi Pitutur Budaya oleh Emha Ainun Nadjib. Namun di tengah acara, ada beberapa teman Emha yang diminta untuk berbicara dan berbagi pandangan terkait tema buku yang dibahas dan tentang diri Emha.

Dibawakan oleh EH Kartanegara, acara berlangsung interaktif. Karta yang juga kawan Emha sejak muda adalah mantan wartawan Tempo dan dulu turut serta membidani lahirnya harian Republika.

Gambar

Pembicara pertama Patricius Cahanar dari Penerbit Buku Kompas selaku penerbit ketiga buku IBDDS sejak pertama kali diterbitkan akhir ‘70-an lalu. Tidak banyak yang dibicarakan Patricius. Ia membagi pandangan bahwa banyak buku “how to” tapi terkadang konteksnya tidak jelas. Semisal “Cara Cepat Jadi Kaya …”, “1 Menit Sukses Dengan …”, dsb. Itu berbeda dengan buku-buku yang menawarkan pemikiran yang mendalam, bukan instan.

Khasanah Desa dan Label Indah “Pembangunan”

Giliran berikutnya Toto Raharjo atau biasa dipanggil Pak Toto berbagi pandangan. Cukup panjang bahasan Pak Toto utamanya terkait dengan khasanah desa.

Gambar

Pak Toto menguraikan dalam buku IBDDS terdapat  Baca lebih lanjut